INILAH FENOMENA PENGEMIS DI INDONESIA



Slogan pemerintah agar tidak memberi uang kepada gepeng, ternyata slogan itu tidak memberikan solusi konkret secara tuntas. Seharusnya pemerintah menyadari begitu pentingnya posisi pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Karena pada dasarnya, pemerintah berperan penting dalam pengadaan hal-hal mendasar dalam kebutuhan hidup manusia yaitu sandang,pangan dan papan ditambah bidang keamanan, kesehatan dan pendidikan. Namun tentu tidak serta merta pemerintah  memberikan kucuran dana setiap bulannya yang langsung terbagikan. Namun, mereka harus mau bergelut dalam dunia kerja secara nyata.

“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah  nasib suatu kaum bila kaum itu sendiri yang mau mengubahnya.”(QS: Ar-radu’ ayat 11)
Artinya tidak akan ada perubahan kecuali kita memaksakan diri untuk berjalan dalam jalan yang benar dan berusaha mengubah keadaanya.

            Semisal pemerintah memberikan peralatan rumput untuk memudahkan memotong rumput, sehingga dari situ masyarakat bisa menghasilkan pekerjaan. Selain itu bila benar-benar kehidupannya tidak mencukupi darihasil kerjanya wajib bagi pemerintah membantunya.

            Sepertinya tidak ada alasan terbaik, kecuali sebenarnya harus kita persiapkan diri kita dan menyadarkan  diri bagi kehidupan sehari-hari untuk melakukan perubahan dari  yang kecil dengan menolong mereka, serta memahamkan pentingnya kita hidp dalam naungan  keindahan dalam aturan islam secara kaffah.

“Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS. Al-A’Raf (7):96)
Ayat diatas menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak akan ada perubahan berarti kecuali kita mau melaksanakan ajaran-Nya.Sehingga nantinya akan terlahir generasi ummat penuh keberkahan dan mampu memegang dan mengendalikan dunia berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah.

Fenomena pengemis di negeri ini mengingatkan pada lagu yang dinyanyikan Iwan Fals tahun 1989--an atau 15 tahun silam.

Judulnya Potret. Mungkin maksudnya adalah potret buram pengemis. Tepatnya pengemis yang meminta belas kasihan, bukan karena terancam mati kelaparan, melainkan pengemis yang muncul karena mental.


Tepatnya, mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu khawatir dengan masa depan.

"Orang-orang resah... berlomba kejar nafkah…Demi anak bini…Demi sesuap nasi…Kuno-kuno memang...Memang-menang kuno” begitu Iwan Fals mengawali lagunya.

Kata “resah” menjadi kunci di sini. Warna jiwa inilah yang diyakini telah menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis. Mental ini tidak bergantung pada harta, kelas, atau jabatan.


Artinya, miskin dan kaya sama-sama bisa memiliki mental pengemis, jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang. Begitupun kawula alit, pejabat elit, politisi, dan penguasa.

Membahagiakan anak istri menjadi alasan paling umum untuk membenarkan tindakan mengemis.

Maka, masalah pun bertambah ketika anak bini yang ingin dibahagiakan itu, ternyata juga bermental pengemis plus selalu merasa kekurangan.


Maka, muncullah mental pengemis yang dalam bahasa pesantren disebut pengemis murokkab, mental pengemis bertumpuk-tumpuk.
Pengemis merupakan bagian dari fenomena masyarakat di mana pun berada. Pengemis terlahir dari peradaban suatu masyarakat di mana terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial yang tinggi. Sebenarnya, kalau kita perhatikan, perkembangan jumlah pengemis di Indonesia terus meningkat seiring dengan krisis dan beban berat kehidupan yang harus dipikul oleh masyarakat. Harga minyak yang melambung tinggi, sembako yang juga harganya naik tajam, dan biaya hidup yang semakin meningkat menyebabkan kemiskinan bertambah. Sehingga salah satu bentuk akibat meningkat tajamnya kemiskinan akan melahirkan gelandangan dan pengemis (gepeng).

            Di negeri ini, yang menurut Koes Plus adalah negeri subur di mana bila tongkat ditanam maka akan tumbuh menjadi pohon, dan lautannya berupa kolam susu ini gepeng mudah kita temui, terutama di perempat-perempat jalanan. Bahkan menjadi hal yang aneh bila di jalanan utama tidak diketemukan gepeng terutama di  kota-kota besar. Mereka melakukan ini semata-mata karena himpitan hidup yang mendesak mereka. Apalagi faktor pendidikan dan  lapangan kerja yang kurang membuat banyak orang memutuskan menjadi gepeng. Namun, terkadang ada juga yang menjadikan kehidupan gepeng adlaah tindakan lain untuk mendapatkan uang dengan mudah alias malas bekerja. Kehidupan kelam jalanan senantiasa menemani mereka setiap waktu dan setiap saat.

            Menrut data tahun 2007, Jumlah Gelandangan Pengemis (Gepeng) di Sumatera Utara (Sumut) menempati urutan ke-2 di Indonesia mencapai 16 ribu orang setelah Jawa Tengah yang mencapai 21 ribu orang dan DKI pada urutan ke-3. Itu baru data yang tampak, itupun sebelum kenaikan BBM tahun 2008. Jumlah itu bertambah seiring dengan momentum-momentum penting di negeri ini. Semisal saja akan banyak gepeng-gepeng yang bekerja sementara waktu karena menganggap lebih untung seperti saat kedatangan Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natalan dan tahun baru. Sementara itu ada juga yang menjadi “Boss” para gepeng ini. Mereka ini mengeruk keuntungan di atas penderitaan orang lain.

            Sementara itu, kehidupan para gepeng sendiri tidaklah menent. Mereka menggambarkan tempat tinggal mereka adalah bumi. Di manapun mereka berada di sanalah mereka tinggal. Artinya mereka selalu hidupdalam  kondisi terlantar. Trotoar-trotoar jalan, Halaman-halaman ruko, Kolong-kolong jembatan adalah singgahan mereka saat malam  menjemput. Sementara itu kardus-kardus kosong mereka bentuk sedemikian rupa untuk menjadikan alas tidur mereka.  Selimut mereka adalah kain-kain kusut yang kumal atau hanya langit saja yang menemani mereka. Gerobak-gerobak seringkali di jumpai bukan sebagai pengangkut barang atau pn sampah melainkan menjadi rumah mini berjalan mereka. Sungai-sungai keruh, pemandian umum atau pun toilet masjid menjadi tempat mereka berhias dan membersihkan diri dengan pakaian seadanya.

            Bagi mereka, hidup hanya untuk sekedar mencari makan, dan bagaimana pun esok hari bagi mereka adalah impian semu yang tidak mungkin didapatkan mereka. Pengelanaan dan penantian agar telur berubah menjadi emas. Terik matahari yang panas, hujan yang membawa badai dan udara dingin menemani mereka meneruskan hidup yang menurut mereka tidak adil.

            Ironisnya di satu sisi bagi mereka inilah satu-satunya cara terbaik meraih hidp esok hari, namun di sisi lain mereka adalah bagian dari masyarakat yang terbuang yang jika terus di biarkan akan membawa energi negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Sehingga sebagian besar bersepakat bahwa kehidupan masyarakat bila terdapat pengemis dan gelandangan maka sesungguhnya akan menganggu norma kehidupan masyarakat. Bahkan posisi mereka di sebagian orang adalah posisi hina, menjijikan dan tak layak dikasihani. Memang benar kata Rasulllah saw, bahwa tangan di atas lebih baik darpiada tangan di bawah. Namun, apakah  lantas kita mesti membenci dan menghina mereka ? Saya percaya siapa pun tidak akan mau berada di posisi mereka,  bahkan mereka sendiri yang melakoninya menolak.

            Pemerintah pun seringkali mengadakan operasi dinas sosial yang salah satu fungsinya adalah menangkapi dan memasukkan mereka ke panti sosial guna mendapatt bimbingan dan pelatihan agar dapat mandiri. Alih-alih ingin menyelamatkan kehormatan para gepeng, ternyata pemerintah seperti membiarkan arus itu berjalan, namun tidak pernah mengawasinya lagi. Masyarakat yang perhatian dalam kondisi ini juga berupaya bersama-sama membuat rumah yatim piatu, yayasan-yayasan untuk gepeng. Padahal ini hanya bersifat terapi kejut, yang berarti bersifat sementara saja, karena tidak menuntaskan  pokok permasalahan dari munculnya fenomena gepeng ini.


Beda kelas tentu beda pula cara mengemis. Kaum miskin mengemis dengan mengiba.

Sedang kaum kaya dan pengusaha mengemis dengan iming-iming sogokan.


Kaum tidak terdidik mengemis dengan mengatungkan (menengadahkan) tangan, sedangkan kaum terpelajar mengemis dengan mengajukan proposal dan membuat panggung-panggung seremoni.


Kawula alit mengemis  dengan terang-terangan, sedang kaum elit mengemis terselubung di balik baju dan lencana kebesaran.

Mental pengemis menjadi kata kunci kedua di sini. Mental yang menggiring pribadi-pribadi merasa selalu terjepit dalam pilihan sulit.


Kaum miskin merasa terjepit di tengah dua pilihan, mengemis atau mencuri. Sedangkan kaum perempuan merasa hanya punya pilihan, mengemis atau menjadi PSK.


Begitu pun kaum kaya dan pengusaha bermental pengemis, juga merasa hanya punya dua pilihan, kerja curang penuh riba atau menyuap untuk memperbesar usaha.

Bagi pejabat, mental pengemis akan membawanya pada pilihan,  korupsi atau melakukan pungutan liar (pungli).


Penegak hukum bermental pengemis juga tidak resah, karena merasa di depan mata hanya dua pilihan, menjual keadilan atau memeras pencari keadilan.


Semua pilihan berujung merugikan, bukan hanya bagi orang lain, melainkan juga diri sendiri.


Kerugian mulai bisa dirasakan ketika mental pengemis pelan-pelan membuat orang lupa potensi diri.


Juga lupa, bahwa sebenarnya masih banyak jalan normal dan mulia yang bisa dilalui.


Kalaupun tahu ada jalan normal, mental pengemis mengajak orang ogah untuk memilihnya.


Sebab, jalan normal butuh kerja keras, ketekunan, kesabaran, dan butuh waktu lama, baru kemudian bisa menangguk hasil.  


Ibarat mau menikmati buah, pakai menabur benih, memupuk, menyiram, dan menyiangi. Terlalu lama.


Kalah cepat dengan cara mencangkok, apalagi meminta atau memindahkan batang yang sudah berbuah dari lahan orang lain.


Mental pengemis juga kerap mengesampingkan pikiran normal. Lihat saja pembagian zakat yang cuma Rp 35.000 selalu diburu beribu orang.


Harus antre berjam-jam, bahkan hampir seharian. Itupun harus adu kuat desak-desakan, bahkan sampai ada yang meninggal segala.

Padahal, kalau berpikir normal, waktu yang digunakan antre seharian, bila dimanfaatkan kerja, hasilnya bisa lebih dari Rp 35.000.


Repotnya lagi bagi pemilik mental pengemis. Sangat susah diajak berdiskusi, apalagi dinasihati.


Nyanyian Iwan Fals menyitir, “..Pergi kau..jangan nasihati aku..pergi kau..aku  mau uangmu..pergi kau jangan menggurui aku…oya…pergi kau..aku mau nasimu….

Uang dan nasi menjadi kata kunci berikut.  Bagi mental pengemis, dua kata itu sudah menjadi way of life atau semacam ideologi. Soal harga diri dan moralitas, tidak perlu terlalu dimasukkan hati.

Lagu Potret menggambarkan itu dengan, "Orang-orang resah berlomba kerja nafkah….demi anak bini…demi sesuap nasi…Soal harga diri sudah tak berarti...uang dimana uang..nasi dimana nasi..”

Nyanyian itu hanya tembang pepeling atau pengingat. Tidak ada solusi kongkret yang ditawarkan.


Lagi pula, kalau ada konsep dan solusi disana, bisa-bisa malah mirip skripsi atau disertasi. Jadinya malah hanya orang pinter yang bisa menikmati.


Tentang solusi terhadap mental pengemis, ada baiknya saran guru kampung dalam kultum Ramadan kita lakukan.


Ia bilang, ahli psikologi punya segudang cara untuk menyembuhkan atau membentengi diri.


Para pejabat dan pemimpin negeri, kalau mau serius menangani, perlu mendengar  konsep dari mereka. Tentu saja ahli-ahli pembangunan lainnya tidak boleh ditinggalkan.


Lalu bagi pribadi-pribadi, ada baiknya membaca, belajar dan konsultasi pada ahli psikologi. Gunanya untuk menata hati agar bisa menjadi pribadi yang mandiri.


Pribadi yang kaffah (merdeka). Inilah pribadi yang tidak akan menjadi pengemis, meski dalam kondisi miskin dan susah sekalipun.


Inilah pribadi yang tidak akan mau ikut berebut zakat, meski ia termasuk delapan ashnaf kaum yang berhak menerima zakat.


Di akhir kultum, guru kampung itu memberikan sepotong doa, penuntun jiwa agar terbebas dari mental pengemis.


Allahumma aghnina bi halalika. Wa tho’atika an maksiatika. Wa bifadlika an man siwaka.


Maknanya kira-kira begini. Ya Tuhan perkayalah aku dengan kehalalanMu. Thoatkanlah aku kepadaMu dari kemaksiatan, tempatkan aku dalam keagunganMu, dan jangan biarkan aku tenggelam pada selainMU.


Tapi jangan salah memperlakukan doa. Sebab sesungguhnya, tidak ada lafal atau mantra doa yang benar-benar mujarab. Kehebatan doa bergantung pada kesungguhan dan sikap pelafal doa.


Artikel Terkait