Slogan pemerintah agar tidak memberi uang kepada gepeng, ternyata slogan itu tidak memberikan solusi konkret secara tuntas. Seharusnya pemerintah menyadari begitu pentingnya posisi pemerintah dalam melindungi hak-hak warga negaranya. Karena pada dasarnya, pemerintah berperan penting dalam pengadaan hal-hal mendasar dalam kebutuhan hidup manusia yaitu sandang,pangan dan papan ditambah bidang keamanan, kesehatan dan pendidikan. Namun tentu tidak serta merta pemerintah memberikan kucuran dana setiap bulannya yang langsung terbagikan. Namun, mereka harus mau bergelut dalam dunia kerja secara nyata.
“… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila kaum itu sendiri yang mau mengubahnya.”(QS: Ar-radu’ ayat 11)
Artinya
tidak akan ada perubahan kecuali kita memaksakan diri untuk berjalan
dalam jalan yang benar dan berusaha mengubah keadaanya.
Semisal pemerintah memberikan peralatan rumput untuk memudahkan
memotong rumput, sehingga dari situ masyarakat bisa menghasilkan
pekerjaan. Selain itu bila benar-benar kehidupannya tidak mencukupi
darihasil kerjanya wajib bagi pemerintah membantunya.
Sepertinya tidak ada alasan terbaik, kecuali sebenarnya harus kita
persiapkan diri kita dan menyadarkan diri bagi kehidupan sehari-hari
untuk melakukan perubahan dari yang kecil dengan menolong mereka, serta
memahamkan pentingnya kita hidp dalam naungan keindahan dalam aturan
islam secara kaffah.
“Sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, Kami pasti akan membukakan bagi mereka pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS. Al-A’Raf (7):96)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa sesungguhnya tidak akan ada perubahan berarti
kecuali kita mau melaksanakan ajaran-Nya.Sehingga nantinya akan terlahir
generasi ummat penuh keberkahan dan mampu memegang dan mengendalikan
dunia berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah.
Fenomena pengemis di negeri ini mengingatkan pada lagu yang dinyanyikan
Iwan Fals tahun 1989--an atau 15 tahun silam.
Judulnya Potret. Mungkin maksudnya adalah potret buram pengemis.
Tepatnya pengemis
yang meminta belas kasihan, bukan karena terancam mati kelaparan, melainkan pengemis
yang muncul karena mental.
Tepatnya, mental yang selalu resah harta, selalu merasa kurang, dan selalu
khawatir dengan masa depan.
"Orang-orang resah... berlomba kejar nafkah…Demi anak bini…Demi sesuap
nasi…Kuno-kuno memang...Memang-menang kuno” begitu Iwan Fals mengawali lagunya.
Kata “resah” menjadi kunci di sini. Warna jiwa inilah yang diyakini telah
menjadikan banyak orang memiliki mental pengemis.
Mental ini tidak bergantung pada harta, kelas, atau jabatan.
Artinya, miskin dan kaya sama-sama bisa memiliki mental pengemis,
jika jiwanya resah dan selalu merasa kurang. Begitupun kawula alit, pejabat
elit, politisi, dan penguasa.
Membahagiakan anak istri menjadi alasan paling umum untuk membenarkan
tindakan mengemis.
Maka, masalah pun bertambah ketika anak bini yang ingin dibahagiakan itu,
ternyata juga bermental pengemis plus selalu merasa kekurangan.
Maka, muncullah mental pengemis yang dalam bahasa pesantren disebut pengemis
murokkab, mental pengemis bertumpuk-tumpuk.
Pengemis merupakan bagian dari fenomena masyarakat di mana pun
berada. Pengemis terlahir dari peradaban suatu masyarakat di mana
terjadi kesenjangan ekonomi dan sosial yang tinggi. Sebenarnya, kalau
kita perhatikan, perkembangan jumlah pengemis di Indonesia terus
meningkat seiring dengan krisis dan beban berat kehidupan yang harus
dipikul oleh masyarakat. Harga minyak yang melambung tinggi, sembako
yang juga harganya naik tajam, dan biaya hidup yang semakin meningkat
menyebabkan kemiskinan bertambah. Sehingga salah satu bentuk akibat
meningkat tajamnya kemiskinan akan melahirkan gelandangan dan pengemis
(gepeng).
Di negeri ini, yang menurut Koes
Plus adalah negeri subur di mana bila tongkat ditanam maka akan tumbuh
menjadi pohon, dan lautannya berupa kolam susu ini gepeng mudah kita
temui, terutama di perempat-perempat jalanan. Bahkan menjadi hal yang
aneh bila di jalanan utama tidak diketemukan gepeng terutama di
kota-kota besar. Mereka melakukan ini semata-mata karena himpitan hidup
yang mendesak mereka. Apalagi faktor pendidikan dan lapangan kerja yang
kurang membuat banyak orang memutuskan menjadi gepeng. Namun, terkadang
ada juga yang menjadikan kehidupan gepeng adlaah tindakan lain untuk
mendapatkan uang dengan mudah alias malas bekerja. Kehidupan kelam
jalanan senantiasa menemani mereka setiap waktu dan setiap saat.
Menrut data tahun 2007, Jumlah Gelandangan Pengemis (Gepeng) di
Sumatera Utara (Sumut) menempati urutan ke-2 di Indonesia mencapai 16
ribu orang setelah Jawa Tengah yang mencapai 21 ribu orang dan DKI pada
urutan ke-3. Itu baru data yang tampak, itupun sebelum kenaikan BBM
tahun 2008. Jumlah itu bertambah seiring dengan momentum-momentum
penting di negeri ini. Semisal saja akan banyak gepeng-gepeng yang
bekerja sementara waktu karena menganggap lebih untung seperti saat
kedatangan Bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natalan dan tahun baru. Sementara
itu ada juga yang menjadi “Boss” para gepeng ini. Mereka ini mengeruk
keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Sementara itu, kehidupan para gepeng sendiri tidaklah menent. Mereka
menggambarkan tempat tinggal mereka adalah bumi. Di manapun mereka
berada di sanalah mereka tinggal. Artinya mereka selalu hidupdalam
kondisi terlantar. Trotoar-trotoar jalan, Halaman-halaman ruko,
Kolong-kolong jembatan adalah singgahan mereka saat malam menjemput.
Sementara itu kardus-kardus kosong mereka bentuk sedemikian rupa untuk
menjadikan alas tidur mereka. Selimut mereka adalah kain-kain kusut
yang kumal atau hanya langit saja yang menemani mereka. Gerobak-gerobak
seringkali di jumpai bukan sebagai pengangkut barang atau pn sampah
melainkan menjadi rumah mini berjalan mereka. Sungai-sungai keruh,
pemandian umum atau pun toilet masjid menjadi tempat mereka berhias dan
membersihkan diri dengan pakaian seadanya.
Bagi mereka, hidup hanya untuk sekedar mencari makan, dan bagaimana pun
esok hari bagi mereka adalah impian semu yang tidak mungkin didapatkan
mereka. Pengelanaan dan penantian agar telur berubah menjadi emas. Terik
matahari yang panas, hujan yang membawa badai dan udara dingin menemani
mereka meneruskan hidup yang menurut mereka tidak adil.
Ironisnya di satu sisi bagi mereka inilah satu-satunya cara terbaik
meraih hidp esok hari, namun di sisi lain mereka adalah bagian dari
masyarakat yang terbuang yang jika terus di biarkan akan membawa energi
negatif bagi kehidupan bermasyarakat. Sehingga sebagian besar bersepakat
bahwa kehidupan masyarakat bila terdapat pengemis dan gelandangan maka
sesungguhnya akan menganggu norma kehidupan masyarakat. Bahkan posisi
mereka di sebagian orang adalah posisi hina, menjijikan dan tak layak
dikasihani. Memang benar kata Rasulllah saw, bahwa tangan di atas lebih
baik darpiada tangan di bawah. Namun, apakah lantas kita mesti membenci
dan menghina mereka ? Saya percaya siapa pun tidak akan mau berada di
posisi mereka, bahkan mereka sendiri yang melakoninya menolak.
Pemerintah pun seringkali mengadakan operasi dinas sosial yang salah
satu fungsinya adalah menangkapi dan memasukkan mereka ke panti sosial
guna mendapatt bimbingan dan pelatihan agar dapat mandiri. Alih-alih
ingin menyelamatkan kehormatan para gepeng, ternyata pemerintah seperti
membiarkan arus itu berjalan, namun tidak pernah mengawasinya lagi.
Masyarakat yang perhatian dalam kondisi ini juga berupaya bersama-sama
membuat rumah yatim piatu, yayasan-yayasan untuk gepeng. Padahal ini
hanya bersifat terapi kejut, yang berarti bersifat sementara saja,
karena tidak menuntaskan pokok permasalahan dari munculnya fenomena
gepeng ini.
Beda kelas tentu beda pula cara mengemis. Kaum miskin mengemis dengan
mengiba.
Sedang kaum kaya dan pengusaha mengemis dengan iming-iming sogokan.
Kaum tidak terdidik mengemis dengan mengatungkan (menengadahkan) tangan,
sedangkan kaum terpelajar mengemis dengan mengajukan proposal dan membuat
panggung-panggung seremoni.
Kawula alit mengemis dengan terang-terangan, sedang kaum elit mengemis
terselubung di balik baju dan lencana kebesaran.
Mental pengemis menjadi kata kunci kedua di sini. Mental yang
menggiring pribadi-pribadi merasa selalu terjepit dalam pilihan sulit.
Kaum miskin merasa terjepit di tengah dua pilihan, mengemis atau mencuri.
Sedangkan kaum perempuan merasa hanya punya pilihan, mengemis atau menjadi PSK.
Begitu pun kaum kaya dan pengusaha bermental pengemis,
juga merasa hanya punya dua pilihan, kerja curang penuh riba atau menyuap untuk
memperbesar usaha.
Bagi pejabat, mental pengemis akan membawanya pada pilihan, korupsi atau
melakukan pungutan liar (pungli).
Penegak hukum bermental pengemis
juga tidak resah, karena merasa di depan mata hanya dua pilihan, menjual
keadilan atau memeras pencari keadilan.
Semua pilihan berujung merugikan, bukan hanya bagi orang lain, melainkan
juga diri sendiri.
Kerugian mulai bisa dirasakan ketika mental pengemis
pelan-pelan membuat orang lupa potensi diri.
Juga lupa, bahwa sebenarnya masih banyak jalan normal dan mulia yang bisa
dilalui.
Kalaupun tahu ada jalan normal, mental pengemis mengajak orang ogah untuk
memilihnya.
Sebab, jalan normal butuh kerja keras, ketekunan, kesabaran, dan butuh waktu
lama, baru kemudian bisa menangguk hasil.
Ibarat mau menikmati buah, pakai menabur benih, memupuk, menyiram, dan
menyiangi. Terlalu lama.
Kalah cepat dengan cara mencangkok, apalagi meminta atau memindahkan batang
yang sudah berbuah dari lahan orang lain.
Mental pengemis juga kerap mengesampingkan pikiran normal. Lihat saja
pembagian zakat yang cuma Rp 35.000 selalu diburu beribu orang.
Harus antre berjam-jam, bahkan hampir seharian. Itupun harus adu kuat
desak-desakan, bahkan sampai ada yang meninggal segala.
Padahal, kalau berpikir normal, waktu yang digunakan antre seharian, bila
dimanfaatkan kerja, hasilnya bisa lebih dari Rp 35.000.
Repotnya lagi bagi pemilik mental pengemis. Sangat susah diajak berdiskusi,
apalagi dinasihati.
Nyanyian Iwan Fals menyitir, “..Pergi kau..jangan nasihati aku..pergi
kau..aku mau uangmu..pergi kau jangan menggurui aku…oya…pergi kau..aku
mau nasimu….
Uang dan nasi menjadi kata kunci berikut. Bagi mental pengemis, dua
kata itu sudah menjadi way of life atau semacam ideologi. Soal harga diri dan
moralitas, tidak perlu terlalu dimasukkan hati.
Lagu Potret menggambarkan itu dengan, "Orang-orang resah berlomba kerja nafkah….demi anak bini…demi sesuap nasi…Soal harga diri sudah tak berarti...uang dimana uang..nasi dimana nasi..”
Lagu Potret menggambarkan itu dengan, "Orang-orang resah berlomba kerja nafkah….demi anak bini…demi sesuap nasi…Soal harga diri sudah tak berarti...uang dimana uang..nasi dimana nasi..”
Nyanyian itu hanya tembang pepeling atau pengingat. Tidak ada solusi kongkret
yang ditawarkan.
Lagi pula, kalau ada konsep dan solusi disana, bisa-bisa malah mirip skripsi
atau disertasi. Jadinya malah hanya orang pinter yang bisa menikmati.
Tentang solusi terhadap mental pengemis, ada baiknya saran guru kampung
dalam kultum Ramadan kita lakukan.
Ia bilang, ahli psikologi punya segudang cara untuk menyembuhkan atau
membentengi diri.
Para pejabat dan pemimpin negeri, kalau mau serius menangani, perlu
mendengar konsep dari mereka. Tentu saja ahli-ahli pembangunan lainnya
tidak boleh ditinggalkan.
Lalu bagi pribadi-pribadi, ada baiknya membaca, belajar dan konsultasi pada
ahli psikologi. Gunanya untuk menata hati agar bisa menjadi pribadi yang
mandiri.
Pribadi yang kaffah (merdeka). Inilah pribadi yang tidak akan menjadi
pengemis, meski dalam kondisi miskin dan susah sekalipun.
Inilah pribadi yang tidak akan mau ikut berebut zakat, meski ia termasuk
delapan ashnaf kaum yang berhak menerima zakat.
Di akhir kultum, guru kampung itu memberikan sepotong doa, penuntun jiwa
agar terbebas dari mental pengemis.
Allahumma aghnina bi halalika. Wa tho’atika an maksiatika. Wa bifadlika an
man siwaka.
Maknanya kira-kira begini. Ya Tuhan perkayalah aku dengan kehalalanMu.
Thoatkanlah aku kepadaMu dari kemaksiatan, tempatkan aku dalam keagunganMu, dan
jangan biarkan aku tenggelam pada selainMU.
Tapi jangan salah memperlakukan doa. Sebab sesungguhnya, tidak ada lafal
atau mantra doa yang benar-benar mujarab. Kehebatan doa bergantung pada
kesungguhan dan sikap pelafal doa.