Diabetes merupakan gangguan metabolisme dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan insulin secara efektif, sehingga terjadilah kelebihan gula yang kronis didalam darah atau hiperglikemia.
Pada tahap awal, penderita diabetes sering merasa lapar dan haus yang, kemudian berlanjut dengan terjadinya kelainan organis berupa sering pegal, kesemutan, dan lemas. Semakin lama, fungsionalpun terganggu mulai dari penglihatan, ginjal, jantung dan sebagainya (Ginting,2009).
Khusus terkait dengan penyakit-penyakit mata, Ginting (2009) mengemukakan bahwa diabetes bisa menjadi faktor risiko terjadinya paling sedikit tiga jenis masalah penglihatan. Pertama, terjadinya gangguan pada retina atau retinopati diabetika. Bisa terjadi sumbatan pembuluh darah karena diabetes, dan itu harus segera diatasi dengan cara dilaser. Semakin lama dibiarkan, pembuluh darah-pembuluh darah yang tersumbat di retinaakan pecah sehingga mengakibatkan penderita kehilangan penglihatannya.
Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kekeruhan lensa, indeks refraktifnya dan amplitude akomodasinya. Saat tingkat gula dara meningkat, kandungan glukosa di aqueous juga meningkat. Karena glukosa memasuki lensa dengan difusi, kandungan glukosa pada lensa akan meningkat juga. Sebagian glukosa diubah oleh enzim aldosereductase menjadi sorbitol, yang tidak dimetabolisme tetapi tetap dalam lensa (Fadillah, 2009).
Tekanan osmotik menyebabkan peningkatan air dalam lensa yang mengarah kepembengkakan dari fiber lensa. Keadaan hidrasi lenticular dapat mempengaruhi kekuatan refraksi lensa. Pasien dengan diabetes dapat menunjukkan perubahan refraksi transient yang diakibatkan perubahan gula darah. Pergeseran miopia akut dapat mengindikasikan diabetes belum terdiagnosa atau yang tidak terkontrol. Orang dengan diabetes memiliki penurunan amplitude akomodasi dibandingkan dengan control orang yang seusia, dan presbyopia dapat muncul pada usia yang lebih muda pada pasien diabetes dari pada yang tidak menderita diabetes (Fadillah, 2009).
1. Jenis Kelamin
Banyak penelitian mendukung hipotesis bahwa estrogen bersifat protektif terhadap lensa oleh proses pembentukan katarak.Penelitian dibeberapa Negara melaporkan bahwa katarak lebih banyak terjadi pada wanita, hal ini pada wanita terdapat suatu fase klimakterum dalam hidupnya. Pada fase tersebut, ovarium berangsur-angsur menurun fungsinya sehingga kadar hormone esterogen semakin lama semakin berkurang, dimana kadar esterogen diduga bersifat protektif terhadap lensa (Lusianawaty, 2006).
Usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki – laki ini diindikasikan sebagai faktor risiko katarak dimana perempuan penderita katarak lebih banyak dibandingkan laki – laki (Soehardjo dalam Agnes, 2012).
2. Merokok
Kebiasaan merokok juga diduga mempengaruhi kejadian katarak. Persentase perokok aktif di Indonesia mencapai 72 % Perokok mempunyai risiko 40 % lebih, tinggi terkena katarak. Buramnya lensa mata yang menghalangi masuknya cahaya, bahkan menyebabkan kebutaan. Semburan zat kimia beracun dari asap rokok mengiritasi mata atau menghambat (Bakrie. H, 2008).
Merokok meningkatkan risiko pembentukan katarak karena kuantitas radikal bebas yang lebih tinggi yang tersebar dan melayang-layang di tubuh seorang perokok. Alasan kedua dapat berhubungan dengan ketidakmampuan tubuh seorang perokok untuk menyuplai nutrisi ke lensa dalam jumlah yang cukup dimana hal ini merupakan pemeliharaan lensa mata. Seiring waktu, jika suplai mineral dan vitamin ke dalam lensa kurang, maka kondisi lensa. (khususnya protein lensa) mulai memburuk (Fadillah. Y, 2009).
Menurut Departemen Kesehatan RI, rokok dapat memperparah kondisi mata. Para perokok berisiko 40 % lebih tinggi untuk menderita katarak. Rokok menyebabkan katarak dengan 2 cara yaitu 1) dengan mengiritasi mata dan 2) melepaskan senyawa kimia ke paru-paru yang kemudian ikut aliran darah menuju mata.
3. Pekerjaan
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap sinonim dengan profesi.Pekerjaan yang dijalani seseorang dalam kurun waktu yang lama disebut sebagai karier.Seseorang mungkin bekerja pada beberapa perusahaan selama kariernya tapi tetap dengan pekerjaan yang sama.
Pekerja diluar gedung dan terpajang radiasi UVB dan sinar matahari, yang merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembang katarak. Pekerja dengan katarak mendapat pejanan pertahun lebih tinggi terhadap sinar UVB dibandingkan dengan yang tidak katarak (Upton dalam Lusianawaty, 2006).
4. Defisiensi Nutrisi
Walaupun difisiensi nutrisi telah terbukti menyenankan katarak pada percobaan binatang, etiologi ini sulit dibuktikan pada manusia. Epidemiologi melaporkan lebih dari decade yang lalu memiliki konflik informasi pada subjek ini. Beberapa penelitian menyarankan bahwa multivitamin, vitamin A, vitamin C, vitamin E, niasin, tiamin, riboflavin, beta karoten, dan banyak protein mungkin memiliki efek protektif pada perkembangan katarak (James, 2010).
Penelitian lain telah menemukan bahwa vitamin C dan vitamin E memiliki efek sangat sedikit atau tidak sama sekali pada perkembangan katarak. Baru – baru in Age Related Eye Disease Study (AREDS)menunjukkan bahwa lebih dari 7 tahun intake yang tinggi dari vitamin C, vitamin E dan beta karoten tidak mengurangi perkembangan atau progresivitas dari katarak (James, 2010).
Lutein dan zeaxanthin merupakan karotenoid yang ditemukan pada lensa manusia dan penelitian baru – baru ini menunjukkan penurunan pada resiko katarak dengan peningkatan frekuensi intake makanan kaya lutein (bayam, sayur hijau dan brokoli). Komsumsi bayam yang dimasak, lebih dari dua kali seminggu dapat menurunkan resiko katarak. Penurunan resiko ini tidak berhubungan dengan gaya hidup sehat (James, 2010).
5. Penggunaan Obat Tertentu
a. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subcapsular posterior. Angka kejadiannya bergantung pada dosis dan lama pemakaian dan penerimaan individu terhadap paparan kortikosteroid. Katarak terjadi pada pemberiankortikosteroid secara sistemik. Topical, subkonjungtiva dan inhalasi.
b. Phenothiazine
Phenothiazine merupakan group utama dari pengobatan psikotropik, dapat menyebabkan deposit pigmentasi di epitel lensa anterior pada suatu konfigurasi axial. Deposit ini muncul tergantung pada dosis dan lama pemakaian. Perubahan visual dihubungkan dengan penggunaan phenothiazine umumnya tidak signifikan.
c. Miotic
Antikolinesterase dapat menyebabkan katarak. Insiden katarak meningkat 20 % setelah penggunaan 55 bulan pilokarpine dan 60 % pada pasien yang menggunakan fosfolipin iodine. Biasanya katarak muncul dalam bentuk vokuola kecil dibagian dalam posterior sampai anterior kapsul dan epitel lensa. Vakuola ini dapat dilihat dengan retroilluminasi. Katarak ini terjadi pada pasien yang menggunakan antikolinesterase jangka panjang dan dosis yang lebih sering.
d. Amiodaron
Amiodaron suatu obat antiaritmia, dilaporkan dapat menyebabkan deposisi pigmen axial anterior stelata. Amiodaron juga dideposit di epitel kornea dan jarang menyebabkan neuropati optic.
e. Statin
Percobaan pada anjing dengan menggunakan 3-hidroksil-3metilglutaril coenzim A (HMG CoA) reduktase inhibitor dikaitkan dengan timbulnya katarak dengan menggunakan dosis berlebihan. Namun statin pada manusia tidak menunjukkan peningkatan resiko katarak. Walaupun demikiam, penggunaan bersama simvastatin dan eritromisin dapat dikaitkan dengan peningkatan 2 – 3 kali lipat resiko katarak (Anonim, 2013).